Scan barcode
A review by rucha
Anak Semua Bangsa by Pramoedya Ananta Toer
5.0
Setelah kepergian Annelise, Minke yang masih diselimuti kesedihan harus tinggal menemani mertuanya Nyai Ontosoroh di Wonokromo. Selama masa perenungannya di Wonokromo, banyak sekali perkara yang tidak mengenakkan hatinya terjadi bertubi-tubi.
Dalam buku ini, karakter Minke tumbuh menjadi pribadi yang lebih matang. Minke yang sangat kagum dengan Eropa dan segala kemajuannya, bahkan setelah dia kehilangan istrinya karena hukum Eropa itu sendiri, masih buta dan mencintai Eropa. Pada cerita kali ini, dia disadarkan untuk melihat bagaimana kolonialisme bangsa Eropa, khususnya pemerintah Kolonial Belanda, sangat menyiksa pribumi Hindia Belanda. Dia baru melihat betapa beruntungnya dia yang terlahir sebagai anak Bupati, keturunan darah ningrat yang dia sendiri benci karena berbagai macam tata krama dan budayanya, tetapi dia nikmati pula kenyamanan yang dia dapat sebagai keturunan darah ningrat itu.
Munculnya beberapa tokoh baru seperti, Khouw Ah Soe, Trunodongso, dan Ter Haar, membuat mata Minke terbuka dengan didapatkannya pengetahuan baru dari kawan-kawan barunya ini. Pecah sudah seorang Minke dari gelembung kenyamanannya, mulai bangkit keinginan dia untuk lebih mengenal pribumi dan bangsanya sendiri, Hindia. Sadarlah dia akan kebenaran dibalik nasihat Kommer yang selama ini tidak terlalu digubris olehnya.
Disisi lain, sosok Nyai Ontosoroh masih seperti dulu, pribadi dengan karakter yang kuat dan masih menjadi karakter kesukaanku. Wanita yang pemikirannya, meskipun belum sepenuhnya modern, tapi tetap luar biasa.
Seperti buku sebelumnya, banyak sekali drama-drama yang terjadi, dari kejadian dramatis yang satu, lompat ke kejadian dramatis selanjutnya, dan begitu terus-terusan. Transisi dari kejadian dramatis satu ke kejadian dramatis berikutnya itu, masih sedikit membuatku bingung mengikutinya, seperti hal yang aku alami saat membaca buku pertama (Bumi Manusia) dari series ini.
Tetapi tidak perlu khawatir, karena gaya tulisan Pram sendiri selalu memikat. Segala macam informasi dan fakta sejarah yang disisipkan membuatku mencari tahu lebih lanjut tentang sejarah negara sendiri yang belum sepenuhnya aku mengerti. Hal ini membuat aku betah dan membuatku ingin membaca lebih lagi. Seperti lorong waktu, setiap kali membaca buku ini rasanya seperti berjalan dan kembali ke masa lalu.
Dalam buku ini, karakter Minke tumbuh menjadi pribadi yang lebih matang. Minke yang sangat kagum dengan Eropa dan segala kemajuannya, bahkan setelah dia kehilangan istrinya karena hukum Eropa itu sendiri, masih buta dan mencintai Eropa. Pada cerita kali ini, dia disadarkan untuk melihat bagaimana kolonialisme bangsa Eropa, khususnya pemerintah Kolonial Belanda, sangat menyiksa pribumi Hindia Belanda. Dia baru melihat betapa beruntungnya dia yang terlahir sebagai anak Bupati, keturunan darah ningrat yang dia sendiri benci karena berbagai macam tata krama dan budayanya, tetapi dia nikmati pula kenyamanan yang dia dapat sebagai keturunan darah ningrat itu.
Munculnya beberapa tokoh baru seperti, Khouw Ah Soe, Trunodongso, dan Ter Haar, membuat mata Minke terbuka dengan didapatkannya pengetahuan baru dari kawan-kawan barunya ini. Pecah sudah seorang Minke dari gelembung kenyamanannya, mulai bangkit keinginan dia untuk lebih mengenal pribumi dan bangsanya sendiri, Hindia. Sadarlah dia akan kebenaran dibalik nasihat Kommer yang selama ini tidak terlalu digubris olehnya.
Disisi lain, sosok Nyai Ontosoroh masih seperti dulu, pribadi dengan karakter yang kuat dan masih menjadi karakter kesukaanku. Wanita yang pemikirannya, meskipun belum sepenuhnya modern, tapi tetap luar biasa.
Seperti buku sebelumnya, banyak sekali drama-drama yang terjadi, dari kejadian dramatis yang satu, lompat ke kejadian dramatis selanjutnya, dan begitu terus-terusan. Transisi dari kejadian dramatis satu ke kejadian dramatis berikutnya itu, masih sedikit membuatku bingung mengikutinya, seperti hal yang aku alami saat membaca buku pertama (Bumi Manusia) dari series ini.
Tetapi tidak perlu khawatir, karena gaya tulisan Pram sendiri selalu memikat. Segala macam informasi dan fakta sejarah yang disisipkan membuatku mencari tahu lebih lanjut tentang sejarah negara sendiri yang belum sepenuhnya aku mengerti. Hal ini membuat aku betah dan membuatku ingin membaca lebih lagi. Seperti lorong waktu, setiap kali membaca buku ini rasanya seperti berjalan dan kembali ke masa lalu.